SAAT LIBURAN SEKOLAH, DITO YANG NAIK KELAS ENAM DIAJAK AYAH-IBUNYA BERLIBUR KE YOGYAKARTA. DALAM PERJALANAN, SANG AYAH MENGEMUDIKAN MOBILNYA DENGAN BATAS KECEPATAN YANG DITENTUKAN. SEMENTARA, BANYAK MOBIL YANG MELAJU KENCANG.
Di Pamanukan, Dito melihat becak ditabrak bus. dengan sedih ia melihat pemandangan menyedihkan itu. Sedangkan di tol Plumbon-Kanci, Dito yang sedang tidur tiba-tiba terbangun dan hampir jatuh ke lantai mobil akibat sang ayah mengerem mendadak mobilnya. Penyebabnya asap tebal dari pembakaran sampah yang tidak sempurna di sisi jalan tol.
Dalam keadaan masih syok, Dito menyampaikan uneg-unek-nya.
"Untung kita tidak celaka ya, Yah?" ucapnya.
"Iya," jawab ayahnya singkat.
Dito lalu terdiam.
"Kenapa Dito diam? Masih mengantuk ya? Bobo lagi saja," sambung ibu Dito beberapa saat kemudian.
"Enggak Bu, Dito cuma mikir, tadi ada kecelakaan dan baru saja kita hampir celaka. Kalau sopir busnya tidak ugal-ugalan, pasti tukang becak tadi tidak menderita ya Bu. Terus, kalau orang tadi tidak membakar sampah, pasti jalan tol tidak terganggu asap. Dito pasti masih tidur. Apa mereka enggak tahu kalau akibat perbuatan mereka dapat juga dirasakan orang lain."
"Mereka tahu Nak, tapi mungkin sedang lupa."
Dito rupanya sudah menyadari sikap toleransi terhadap sesama. bahwa kita juga mesti memikirkan dampak setiap tindakan kita pada orang sekitas kita. Namun, kita yang notabene dewasa sering lupa akan hal itu.
Saat membakar sampah dihalaman, kita lupa bahwa asapnya dapat menyebabkan tetangga mengalami sesak napas atau jemuran tetangga berbau sap. Halaman kita memang jadi bersih. Tatkala kita membunyikan radio keras-keras dimalam hari, kita lupa dengan tetangga yang tengah tidur pulas. Suara radio memang menyenangkan telinga kita. Kalau kita bertutur kata, tidak hanya nafsu bicara kita yang terpuaskan. Gendang telinga dan hati orang sekitar juga ikut tersentuh oleh getaran suara kita. Pikiran, tutur kata, dan perilaku kita selu punya akibat ke dua arah, kita dan sekitar kita.
(Gde-rewrite by Tim IDE Surabaya)
Di Pamanukan, Dito melihat becak ditabrak bus. dengan sedih ia melihat pemandangan menyedihkan itu. Sedangkan di tol Plumbon-Kanci, Dito yang sedang tidur tiba-tiba terbangun dan hampir jatuh ke lantai mobil akibat sang ayah mengerem mendadak mobilnya. Penyebabnya asap tebal dari pembakaran sampah yang tidak sempurna di sisi jalan tol.
Dalam keadaan masih syok, Dito menyampaikan uneg-unek-nya.
"Untung kita tidak celaka ya, Yah?" ucapnya.
"Iya," jawab ayahnya singkat.
Dito lalu terdiam.
"Kenapa Dito diam? Masih mengantuk ya? Bobo lagi saja," sambung ibu Dito beberapa saat kemudian.
"Enggak Bu, Dito cuma mikir, tadi ada kecelakaan dan baru saja kita hampir celaka. Kalau sopir busnya tidak ugal-ugalan, pasti tukang becak tadi tidak menderita ya Bu. Terus, kalau orang tadi tidak membakar sampah, pasti jalan tol tidak terganggu asap. Dito pasti masih tidur. Apa mereka enggak tahu kalau akibat perbuatan mereka dapat juga dirasakan orang lain."
"Mereka tahu Nak, tapi mungkin sedang lupa."
Dito rupanya sudah menyadari sikap toleransi terhadap sesama. bahwa kita juga mesti memikirkan dampak setiap tindakan kita pada orang sekitas kita. Namun, kita yang notabene dewasa sering lupa akan hal itu.
Saat membakar sampah dihalaman, kita lupa bahwa asapnya dapat menyebabkan tetangga mengalami sesak napas atau jemuran tetangga berbau sap. Halaman kita memang jadi bersih. Tatkala kita membunyikan radio keras-keras dimalam hari, kita lupa dengan tetangga yang tengah tidur pulas. Suara radio memang menyenangkan telinga kita. Kalau kita bertutur kata, tidak hanya nafsu bicara kita yang terpuaskan. Gendang telinga dan hati orang sekitar juga ikut tersentuh oleh getaran suara kita. Pikiran, tutur kata, dan perilaku kita selu punya akibat ke dua arah, kita dan sekitar kita.
(Gde-rewrite by Tim IDE Surabaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar